Tembaga atau kuprum (Cu) berbentuk kristal berwarna kuning kemerahan. Dalam tabel periodik unsur-unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan mempunyai bobot atau berat atom (BA) 63,546 (Palar, 2008). Di alam, tembaga banyak ditemukan dalam bentuk pyrite, Fe-sulfat, dan sering bercampur dengan Antimoni (Sb), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan arsen-sulfat. Dalam perairan laut, Cu ditemukan dalam bentuk persenyawaan ion seperti CuCO3, CuOH, dan lain-lain (Widowati, dkk, 2008).
Secara kimia, senyawa-senyawa yang dibentuk oleh logam Cu (tembaga) mempunyai bilangan valensi +1 dan +2. Berdasarkan bilangan valensi yang dibawanya, logam Cu dinamakan juga cuppro untuk yang bervalensi +1, dan cuppry untuk yang bervalensi +2 . Secara Fisika, logam Cu digolongkan ke dalam kelompok logam-logam penghantar listrik yang baik. Sehingga Cu banyak digunakan dalam bidang elektronika (Palar, 2008).
Tembaga banyak digunakan sebagai peralatan elektronik sebesar 60%; untuk kontruksi, misalnya atap dan plumbing adalah sebesar 20%; industri mesin, yaitu sebagai pengganti penghantar panas sebesar 15%, dan untuk berbagai alloy sebesar 5%. Selain itu, logam Cu juga memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai bahan biosida untuk mengendalikan penyakit pada tanaman yang disebabkan oleh bakteri, fungi, dan serangga; bahan pembuatan pipa atau tangki air yang dapat memberikan manfaat yang besar karena Cu tidak bersifat korosif, mudah dibentuk, dan mudah dipasangkan pada berbagai jenis instrument; dan bahan pembuatan peralatan dapur, seperti panci (Widowati, dkk, 2008).
Menurut Widowati, dkk, 2008, Tembaga (Cu) bisa masuk ke dalam lingkungan melalui jalur alamiah dan non alamiah. Pada jalur alamiah, logam ini mengalami siklus perputaran dari kerak bumi ke lapisan tanah, ke dalam makhluk hidup, ke dalam kolom air, mengendap, dan akhirnya kembali lagi ke kerak bumi. Namun, kandungan alamiah logam berubah-ubah tergantung pada kadar pencemaran yang dihasilkan oleh manusia maupun karena erosi alami.
Pencemaran akibat aktivitas manusia lebih banyak berpengaruh dibandingkan pencemaran secara alamiah. Unsur Cu bersumber dari peristiwa pengikisan (erosi) batuan mineral, debu-debu, dan partikulat Cu dalam lapisan udara yang dibawa turun oleh air hujan. Jalur non alamiah dalam unsur Cu masuk ke dalam tatanan lingkungan akibat aktivitas manusia, antara lain berasal dari buangan industri yang menggunakan bahan baku Cu, industri galangan kapal, industri pengolahan kayu, serta limbah rumah tangga (Widowati, dkk, 2008).
Bentuk tembaga yang paling beracun adalah debu-debu Cu yang dapat mengakibatkan kematian pada dosis 3,5 mg/kg. Daya racun yang dimiliki oleh garam-garam khlorida dan sulfat terhidrasi (CuCl2.2H2O) akan mengakibatkan kematian pada dosis 9,4 mg/kg. Untuk garam sulfat dalam bentuk hidrasi, daya racun yang dimilikinya akan mengakibatkan kematian pada dosis 33 mg/kg (Palar, 2008).
Keracuanan kronis Cu pada manusia dapat menimbulkan penyakit Wilson’s dan Kinsky. Gejala penyakit Wilson’s antara lain berupa hepatosirosis, kerusakan pada otak, demielinasi, penurunan kerja ginjal, dan pengendapan Cu dalam kornea mata. Gejala penyakit Kinsky, antara lain berupa rambut kaku dan berwarna kemerahan . Penyakit Wilson’s disebabkan oleh tersimpannya Cu secara berlebihan dalam tubuh karena Cu tidak dapat diekskresikan oleh hati melalui empedu. Penyakit Wilson’s dapat mengakibatkan kerusakan otak dan hati (Widowati dkk, 2008).
Gejala klinis pada keracunan akut Cu, antara lain kolik abdomen, muntah, gastroenteritis diikuti diare, fases, dan muntahan yang berwarna hijau-kebiruan.Penderita akan mengalami kolaps dan kematian setelah 24 jam semenjak munculnya gejala-gejala tersebut. Keracunan akut Cu mengakibatkan kadar Cu darah meningkat beberapa jam setelah mencerna makanan yang mengandung Cu (Widowati dkk, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar